
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan keprihatinan atas perilaku seleb TikTok Luluk Sofiatul Jannah (LSJ) yang mengunggah video di akun TikTok-nya yang berisi aksi membentak dan memaki seorang siswi SMKN 1 Probolinggo, Jawa Timur. Video tersebut kemudian menjadi viral dan tersebar luas di media sosial.
Menurut KPAI, tindakan LSJ tersebut termasuk dalam kategori kekerasan, khususnya kekerasan verbal yang dilakukan melalui media sosial TikTok, yang dikenal sebagai cyberbullying. Lebih lanjut, tindakan tersebut juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Salah satu pasal yang dilanggar oleh LSJ adalah Pasal 76C yang melarang kekerasan terhadap anak.
Siswa yang menjadi korban dalam video tersebut tengah menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di sebuah supermarket, yang merupakan haknya sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun, setelah video tersebut tersebar, siswa tersebut mengalami dampak psikologis yang serius, seperti kehilangan rasa percaya diri dan ketidaknyamanan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ini adalah contoh nyata dari dampak negatif yang bisa dihasilkan dari cyberbullying.
Komisioner KPAI Sub Klaster Anak Korban Cybercrime, Kawiyan, menyatakan bahwa cyberbullying dapat memiliki dampak psikologis yang serius pada korban, termasuk depresi, marah, gelisah, dan bahkan potensi tindakan bunuh diri. Selain itu, dampaknya juga dapat memengaruhi kinerja sekolah siswa dan kemampuannya untuk beradaptasi.
Meskipun pelaku telah meminta maaf, KPAI menekankan pentingnya menjalani proses hukum sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Namun, kasus ini akhirnya berujung damai, tetapi suami LSJ yang merupakan anggota Polri dicopot dari jabatannya.
KPAI menegaskan bahwa pelaku, yang merupakan orang dewasa dan istri anggota Polri, seharusnya memberikan contoh yang baik dalam memperlakukan anak dan penggunaan media sosial yang bijak. Selanjutnya, KPAI menyatakan bahwa perlu ada pendampingan dan penanganan psikologis yang tepat untuk memulihkan kondisi siswi yang menjadi korban agar dapat mengatasi dampak psikologis yang ia alami. Pihak sekolah, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak setempat diharapkan dapat bekerja sama dalam upaya ini.