Minangkabau Tanpa Datuk Perempuan?

https://ift.tt/jZJUOq5
Ilustrasi rumah adat minang. Foto: Shutterstock
Ilustrasi rumah adat minang. Foto: Shutterstock

Beberapa aktivis perempuan Minangkabau beberapa waktu lalu terlihat asyik membahas kenapa di ranah ini tak ada datuk perempuannya? Pertanyaan kritis itu berlanjut, bila Minangkabau mengklaim menjalani tradisi matrilineal tapi mengapa para perempuannya justru bukan pemilik Rumah Gadang?

Justru bila kita berkunjung ke kawasan Rumah Gadang di Solok, atau Solok Selatan. Maka di situ Rumah Gadang tercatat atas nama seorang datuk, bukan milik nenek atau ibu yang jadi rujukan saparauik.

Ilustrasi Rumah hunian orang Minangkabau (Rumah Gadang). Foto Commons Wikimedia.
Ilustrasi Rumah hunian orang Minangkabau (Rumah Gadang). Foto Commons Wikimedia.

Saparuik (seperut) merupakan pola ranji satu kaum di Minangkabau. Masyarakat ini membuat garis ranji mereka dengan menarik dari turunan nenek atau perempuan dan anak-anak perempuannya. Jadi bila saparuik yang berarti dari perut ibu (semuanya lahir) sebagai tempat keluarnya para datuk itu, tetapi semua sistem kebudayaan Minangkabau dikooptasi para lelaki atau penghulu. Betapa tidak adil, dan mengesalkan! Gerung aktivis kita itu.

Ketiadaan datuk kalangan perempuan Minangkabau adalah realitas sejarah. Sejak kedatangan nenek moyang bangsa ini dari Negeri Rum, pasca banjir besar Nabi Nuh, ke puncak Gunung Marapi, belum ada gelar adat Datuk Minangkabau.

Konon kala itu rombongan Sri Maharaja Diraja bersama istri dan pengiringnya, Harimau Campo, Kucing Siam, Kambing Hutan, dan Anjing Mualim berlabuh di tanah Pariangan. Adapun istri Sri Maharaja Diraja bernama Puti Indah Jalito (Putri yang indah jelita). Setelah lama berdiam di hunian baru mereka, lahirlah anak Sri Maharaja Diraja bernama Sutan Maharaja Basa.

Tidak berapa lama Sri Maharaja Diraja meninggal dan menikahlah kembali Puti Indah Jalito dengan Cati Bilang Pandai, seorang penasehat Sri Maharaja Diraja. Mereka pun memiliki anak bernama Sutan Balun.

Kedua anak Puti Indah Jalito ini menjadi peletak tatanan adat Minangkabau. Sutan Maharaja Basa mendirikan kelarasan, komunitas besar pengikut, yang ia namakan Koto-Piliang. Sementara saudara tirinya Sutan Balun tak mau pula kalah, dan membentuk pula kelarasan Bodi-Chaniago. Dua kelarasan ini mengambil posisi atau wilayah di kisaran dua kaki gunung utama di Minangkabau, Marapi dan Singgalang.

Ilustrasi Gunung Marapi konon hunian awal Minangkabau. Foto Commons Wikimedia.
Ilustrasi Gunung Marapi konon hunian awal Minangkabau. Foto Commons Wikimedia.

Seiring perluasan pemukiman dan bertambahnya penduduk kelarasan, akhirnya Sutan Maharaja Basa dan adiknya Sutan Balun membuat berbagai aturan yang mengikat orang Koto-Piliang dan Bodi-Chaniago. Mereka mengatur secara rinci kehidupan awal orang Minangkabau, mulai dari persoalan tepian mandi sampai tepian tempat tidur di Rumah Gadang.

Sebagai bentuk penghormatan masyarakat keduanya, Sutan Maharaja Basa mereka lewakan (angkat) sebagai Datuk Katamanggungan. Adapun Sutan Balun mereka angkat sebagai Datuk Parpatih Nan Sabatang.

Konon nama datuk sendiri datangnya dari pengaruh istilah kedatuan. Salah seorang peneliti asing, Coedes menyebut kedatuan sebagai kawasan orang belajar ilmu agama Budha. Istilah ini berkembang sebagai penyebutan satu kawasan politik yang diperintah seorang datuk. Berbeda dengan konsep kekuasaan Jawa yang berdiri di atas kekuasaan seorang raja (Raj), sehingga wilayah kekuasaan mereka disebut kerajaan.

Jadi kelarasan atau Kedatuan Koto-Piliang merupakan wilayah kekuasaan Datuk Katamanggungan. Adapun adiknya menjadi datuk di Kedatuan Bodi-Chaniago. Dalam hal sistem pemerintahan mereka menurut Tambo, versi historiografi tradisional Minangkabau, Kedatuan Koto-Piliang banyak mengangkat Datuk dalam sistem aristokrasi karena konon “ego” Datuk Katamanggungan yang merupakan anak raja langsung.

Sementara Datuk Parpatih Nan Sabatang meski banyak juga mengangkat datuk “kecil” lainnya, namun ia relatif bersikap demokratis dalam menentukan siapa yang akan diangkat datuk dalam sistem musyawarah. Agak beda dengan kakak tirinya yang sifatnya warisan langsung.

Kedua wilayah kedatuan Duo Datuk ini pernah satu masa bentrok. Dua kakak beradik ini pun bertengkar sembari saling berhunus keris dengan menyatakan salah satu dari mereka yang benar. Sebelum putus runding yang mengakibatkan pertumpahan darah dua kakak beradik ini, salah seorang penasihat dari “keluarga lama” yang masih terpandang memberi ingatan kalau keduanya keluar dari paruik (perut) yang sama. Untuk apa bertentangan yang hanya akan menyakitkan Bundo Puti Indah Jalito yang terisak dalam kuburnya melihat anak-anak kandungnya bertengkar bertikam darah.

Ilustrasi Batu Batikam. Foto istimewa.
Ilustrasi Batu Batikam. Foto istimewa.

Konon kedua Datuk insaf dan menikamkan keris sakti mereka ke sebuah batu. Batu itu pun berlubang sebagai penanda akhir dari konflik dua kedatuan atau kelarasan di Minangkabau. Atas resolusi kedua Datuk, Katamanggungan dan Parpatih Nan Sabatang, tersiar pula larangan menikah sesama satu kedatuan Koto-Piliang dan Bodi-Chaniago. Pernikahan ideal adalah bila orang Piliang menikah dengan orang Chaniago, dan seterusnya.

Setelah kematian Duo Datuk Minangkabau ini Kelarasan Koto-Piliang dan Kelarasan Bodi-Chaniago pecah menjadi nagari-nagari otonom, namun masih mewarisi jabatan datuk sebagai penguasa nagari secara kolektif. Beberapa nagari berkembang dengan penyesuaian kebutuhan masyarakatnya dengan mengangkat datuk khusus dalam bidang ekonomi, budaya, sosial, dan ritual.

Sambil berseloroh seorang dari aktivis perempuan Urang Awak itu, jadi bagaimana lagi solusinya? Apakah perlu pula kita melewakan (mengangkat) gelar Datuk Padusi untuk perempuan Minangkabau sekarang? Kalau sudah ada Datuk Padusi tentu mesti bentuk pula Kaum dia untuk ia perintah? Nah kaum mana yang mau diperintah? Nan satungkek (setongkat), dengan rujukan satu ayah?

Eyayai...kata satu orang lain. Hidup sudah merasai, jangan lagi kita tambah-tambah perangai.

Baca Juga
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama

Featured

News Feed