
Salah satu hal yang orang tua khawatirkan terhadap anak-anak mereka di lembaga pendidikan adalah sulitnya melawan perundungan (bullying) di sekolah. Perundungan terjadi terutama lemahnya pengawasan guru, dan pembiaran praktik-praktik perundungan karena dianggap hal wajar dalam lingkungan sekolah.
Pencolokkan mata siswa sebuah sekolah dasar di Gresik karena tidak mau memberi uang kepada kakak kelasnya. Pembakaran sekolah oleh seorang siswa yang sering dibully temannya. Atau kekerasan fisik yang dialami banyak siswa, baik di tingkat SD bahkan SMA telah sampai pada tingkat mengkhawatirkan kita.

Bila kita lansir dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sebagaimana dikutip oleh katadata.co.id (7/8). Persentase korban perundungan tertinggi adalah siswa sekolah dasar sekitar 25 persen dari total kasus sepanjang 2023 ini. Jumlah itu sama persentasenya dengan perundungan yang diderita siswa SMP.
Sementara dunia maya atau dalam perbincangan warga netizen, perundungan masih persoalan pro-kontra. Banyak warga dunia maya tidak menunjukkan dukungan, bahkan simpati terhadap korban perundungan. Umumnya mereka menyalahkan orang tua atau siswa korban yang tidak hati-hati atau berani melawan.
Persoalan para korban bukanlah keberanian atau kehati-hatian dalam bergaul. Bagaimana bila persoalannya adalah rendahnya perspektif guru, terutama mereka yang mengajar di pinggiran kota atau pedesaan? Anak nakal plus orang tua “bagak” (preman) sering membuat guru tutup mata terhadap perilaku perundungan. Bahkan mereka terkadang meminta agar orang tua si korban agar mengikhlaskan atau mengerti dengan kondisi lingkungan sekolah.
Satu tahun lalu anak penulis pindah ke sekolah yang baru. Kami baru saja menghuni rumah yang relatif jauh dari sekolahnya yang lama. Setelah berkeliling mencari sekolah yang cocok, kami memutuskan anak-anak bersekolah baru tak jauh dari tempat tinggal kami.
Pada minggu-minggu awal tak ada masalah. Namun memasuki minggu keempat sampai tiga bulan kemudian, saban hari kami mendapati anak-anak kami terus dirundung teman sekolahnya.
Mereka awalnya masih bisa menerima nasihat kami untuk bertahan dengan “kenakalan” teman-teman barunya. Kami pikir kawan-kawan baru itu cuma usil karena mereka anak baru yang mendatangkan keanehan, pendatang, dan asing. Tapi lama-kelamaan beberapa teman anak penulis bercerita kalau putri kami paling kecil, ditantang 2 orang anak di samping toilet sekolah setelah pulang sekolah.
Dua anak perempuan itu adalah siswa tinggal kelas yang merasa jumawa di sekolah, selain mereka “putri daerah”. Sudah satu minggu mereka menunggu putri penulis dan mengejeknya sebagai penakut. Kondisi setiap hari penuh ancaman itu membuat putri kami pun enggan ke sekolah. Kami pun memutuskan pergi ke sekolah, dan mengadukan perbuatan dua siswi “putri daerah” itu.

Sayang jawaban yang kami terima dari pihak sekolah justru tidak melegakan. Mereka berpikir kalau itu adalah guyonan anak-anak yang tak perlu ditanggapi. Anak-anak yang sekolah di sini sehari-hari terbiasa berkata-kata kotor, dan tidak hormat pada orang tua. Penulis pun meradang dan menuntut apa peran sekolah kalau tunduk dengan kondisi itu.
Sekolah adalah institusi negara, dengan wewenang hukum, dan dilindungi pemerintah untuk mendidik siswanya sesuai amanat konstitusi. Kondisi anak penulis yang tertekan menunjukkan sekolah dan guru takut mengambil peran sebagai pendidik dengan membiarkan kekerasan fisik dan psikis pada anak didiknya sendiri.
Beberapa waktu lalu seorang orang tua murid mengadu ke sekolah kalau anaknya yang baru kelas 1 setiap hari dimintai uang jajan oleh siswa kelas 6. Berita ini disampaikan melalui grup whatsapp sekolah. Lagi-lagi guru dan sekolah tidak memberi reaksi melegakan orang tua.
Baru-baru ini bahkan seorang orang tua murid dapat seenaknya memarahi siswi lain karena anak lelakinya ditegur seorang siswi di kelas karena usil. Penuh kemarahan dan ancaman ia pun mengeluarkan kata-kata tak menyenangkan pada siswi tersebut tanpa memikirkan dampak psikologis si anak. Sekolah dan guru? Lagi-lagi mereka mencari kambing hitam tanpa melihat secara jernih kalau perbuatan orang tua yang masuk ke kelas atau ke area sekolah memarahi seorang siswa adalah tindakan kejahatan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merilis bahwa sekolah (guru), dan masyarakat menjadi sumber perundungan. Dalam konteks sekolah, terutama guru, kementerian bahkan mewajibkan adanya pelayanan pengaduan terhadap kekerasan atau perundungan ini.
Sekolah mesti membuat pos penerimaan pengaduan, sekaligus bersama siswa membentuk gerakan bersama anti-perundungan. Selain itu para pendidik dan tenaga kependidikan memberi keteladanan dengan ucapan dan perbuatan yang positif, serta tidak membeda-bedakan setiap anak didiknya.
Orang Minangkabau memiliki ujaran lama, bahwa sekali air bah datang sekalian tepian berubah. Artinya orang mesti menerima perubahan karena gerakan zaman membuat kaki-kaki mereka mesti terus melangkah ke depan. Namun lazimnya perubahan senantiasa menciptakan orang-orang yang anti-keluar zona nyaman mereka, demikian yang menghidupi banyak anak-anak kreatif di sekolah kita, tak terkecuali anak penulis.
Mereka bersama segelintir teman mendirikan Komunitas Anti-Bullying yang mereka singkat dengan KOMAB. Komunitas ini bahkan telah menghasilkan karya-karya tulis, vlog, dan storytelling yang diakhiri dengan ajakan anti-perundungan, dan stop bullying.
Meskipun kegiatan mereka bersifat kelompok tanpa keterlibatan pihak sekolah dalam hal biaya, dan dukungan moral. Namun tetap saja suara-suara penuh kebencian tetap berembus yang justru, menjadi pelumas makin gebyarnya KOMAB berkarya demi masa depan mereka.